Rabu, 28 November 2012

LAST STRIKE!


Sejak kecil, ayah mengajariku cara bermain softball dan tekniknya sampai akhirnya aku bermain di dunia internasional. Ayah tidak peduli dengan nilai akademisku di sekolah, sehingga membuatku keluar dari sekolah pada masa SMP dan melanjutkan dengan home schooling. Bukan karena nilaiku buruk, tapi ayah menginginkanku fokus pada dunia softball. Hingga satu tahun lalu, ayah meninggal karena serangan jantung, ibu memintaku kembali melanjutkan sekolah pertengahan musim panas nanti ke SMA.
Musim panas pun tiba. Suhu udara tentu saja panas sekali. Angin melewati sela-sela rambutku menimbulkan suara di telinga. Hari pertama kembali ke sekolah sangat menegangkan. Duniaku yang lalu hanya duniaku di lapangan. Kenalanku adalah pemain baseball dan softball yang terkenal.
Upacara hari pertama sekolah sangat membosankan. Kelas 2-A. Aku mencari kelas 2-A. Lorong kelas 2 ini ramai. Ada anak-anak gadis yang  cantik sedang bercakap-cakap. Ada juga beberapa anak yang memperhatikan aku. Ada beberapa anak laki-laki yang berlarian di lorong.
AH, kelas 2-A! Semua memperhatikan aku ketika aku masuk ke kelas. Aku duduk di bangku dekat jendela agar bisa melihat keluar. WAH! Ada lapangan baseball! Banyak anak-anak yang bermain disana.
Aku diberi selembar kertas. Kegiatan ekstrakurikuler? Pak Guru memintaku mengisinya dirumah. Ada banyak pilihan kegiatan.
“Hei, kamu Mika, pemain softball itu, kan? Aku sering liat kamu di tv! Kamu keren banget!” gadis berambut lurus dibangku sebelahku menyapaku.
“Ohya? Terima kasih.” Aku memberinya seulas senyum.
“Lalu, kapan kamu bertanding lagi? Aku ingin lihat kamu bermain langsung”
“Mungkin musim dingin ini?”
“Ohya! Kamu pasti masuk klub softball kan?”
“Memang ada?”
“Ada! Ini! Di selebaran ini, kamu tinggal pilih.”
“Benar! Ada klub softball! Aku pilih klub ini! Ohya, namamu siapa?”
“Aku Tata. Panggil saja seperti itu. Salam kenal.” Dia meberikanku sebuah jabatan tangan dan seulas senyum yang menampakkan gigi putihnya.
“Baiklah.”
Aku mendapat teman! Dia bernama Tata. Dia memintaku memanggilnya seperti itu. Dia ikut klub softball, sama sepertiku. Kalau begitu, aku tidak akan kesepian di klub softball.
Sepulang sekolah, aku berniat menghampiri lapangan softball sekolah. Ingin merasakan aura lapangan yang akan aku injak. Tapi Tata mengajakku ke warung takoyaki baru didekat stasiun. Kapan lagi aku seperti ini? pikirku. Besok aku masih bisa ke lapangan.
Tidak ada angin yang berhembus. Terik matahari di pagi hari sangat membuatku repot, membuatku berkeringat. Padahal, aku hanya jalan dari rumah sampai ke stasiun, tetapi seragamku sudah basah. Ah! Ada supermarket! Pasti di dalam sejuk! Beli permen sekalian menyejukkan diri, ah!
Tiba-tiba ada seseorang membuka pintu dan menabrak pundakku.
“Ah, maaf!” laki-laki berkacamata yang mukanya tak terlihat meminta maaf. Di tasnya ada gantungan kunci glove! Akan kuingat.
Sepanjang jalan aku mengingat-ingat wajah laki-laki yang tadi menabrakku. Tetap tidak ingat! Nanti pasti ketemu.
Siang hari, matahari sungguh-sungguh memberikan terik dan panasnya yang amat-teramat panas. Membuatku tak bisa melihat ke atas langit. Tapi niatku tak terkalahkan oleh panasnya matahari ini. Aku tetap datang ke lapang softball.
Beruntunglah aku bisa  datang kesini. Pagarnya tak terkunci! Aku memasuki lapangan. Ah, auranya berbeda sekali dengan lapangan yang biasanya aku datangi. Terlihat lebih kecil. Pasir lapangannya berbeda, tapi rumputnya nyaman sekali, hijau.
Aku menantang diriku berlari diatas pasir. Menyesuaikan diriku dengan pasir. Mungkin aku menarik perhatian murid lain, tapi aku tak peduli.
Jackpot!!” Tata berteriak, membuatku kaget dan terpeleset saat berlari di pasir.
Tata langsung datang menghampiriku, membantuku bangun dari jatuhku.
“Maaf, maaf! Aku tidak sengaja.” Tata membantuku membersihkan seragamku. Ah, lusuh sekali aku.
“Iya, ga apa-apa.”
“Biar aku bantu.” Tata menemaniku berganti baju. Untunglah ada seragam olahraga di lokerku.
Pagi sabtu ini terasa dingin sekali. Mungkin sudah musim peralihan. Sepertinya akan datang hujan hari ini. Aku menghampiri supermarket di stasiun lagi, membeli segelas susu coklat panas. Barangkali, aku akan bertemu dengan laki-laki waktu itu.   
Tidak. Aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Aku tak mau berharap.
“Mika! Ke klub?” Tata mengagetkanku dari belakang.
“Yap!”
“Bareng yuk?” aku mengangguk.
“Waaaaah! Tas pemain professional memang beda ya?”
“Ah, kamu bisa saja. Ini dijual di pasaran kok..”
“Ohya? Lain waktu temani aku beli ya?”
“Oke!”
Lapangan softball penuh dengan anak-anak yang berlatih. Pelatih itu laki-laki bertopi dan berkacamata hitam. Badannya kekar. Sepertinya aku mengenalinya.
Aku berjalan memasuki lapangan. Pasir lapang masih seperti terakhir aku kesini. Auranya tidak berubah. Rumputnya juga tak berubah, segar dan hijau. Beberapa anak memperhatikanku. Apa ada yang salah?
Ah! Anak itu! Laki-laki itu mirip seperti anak yang aku temui di supermarket lalu. Dari belakang sih mirip, tapi belum tentu dia.
Aku menyimpan barang-barangku di loker dan segera bersiap-siap. Aku berlari dengan penuh semangat menuju lapang karena sudah tak sabar. Aku bergabung dengan gadis-gadis lain walau aku tak kenal.
Pelatih bertubuh kekar itu mendekati aku. Dia membuka kacamatanya. Mukanya yang terlihat tua tampak familiar.
“Mika! Kamu ingat dengan saya?” Mimiknya menampakkan dia senang bisa bertemu denganku lagi, tapi aku tak ingat. Memoriku belum terkumpul tentangnya.
“Lupa, ya? Ini Ferry. Uncle Ferry. Teman satu tim dengan ayahmu.”
“Oh iya! Aku ingat! Apa kabar, uncle?”
“Baik. Saya turut berduka cita atas meninggalnya ayah kamu.” Kali ini dia menampakkan mimik sedihnya.
“Iya, ga apa-apa. Ayo, uncle, kita latihan!” dia membuat senyuman hingga gigi putihnya terlihat.
Tata tidak terlalu buruk, dia pasti bisa masuk ke tim sekolah. Sekali, dua kali, aku bisa menangkapnya. Kali ini dia melempar terlalu tinggi. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Brug! Aku menabrak seseorang. SIapa? Glovenya ada di atas kepalaku. Glovenya menangkap bolaku. Dia menurunkan glovenya. Wangi. Wangi maskulin. Tampak kacamata dikenakan oleh laki-laki itu. Aku membalikkan badanku.
“Ini bola kamu, kan?”
“Iya. Makasih.”
“Yo! Sama-sama Mika!” dia kembali dan melambaikan tangannya. Tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Tanpa sadar, detakan ini menarik bibirku membentuk seulas senyum.
Tak terasa sudah 2 jam berlalu. Latihan selesai. Latihan di sekolah tidak terlalu berat seperti latihan nasional.
“Pertemuan berikutnya, yang laki-laki bertanding dengan yang perempuan. Saya ingin lihat kemampuan kalian masing-masing.”
WOW! Ini nih yang aku tunggu-tunggu.
“Pasti bakalan seru, nih! Iya, kan, Mika?” aku mengangguk. Aku tak sabar buat minggu depan.
“Mika, aku suka cowok itu. Cowok yang berkacamata itu.” Tata menunjuk salah satu dari laki-laki yang sedang berkumpul.
“Yang mana?” aku berusaha mencari
“Awaaaaaaasss!” seseorang bereteriak.
Brag! Suara apa itu? Sakit. Punggungku sakit. Gelap. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Badanku lemas.
“Mika! Mikaa!” Aku mendengar suara Tata memanggilku, tapi semuanya gelap. Seseorang membopongku. Siapa?  Wangi. Wangi ini, aku hapal! Aku tak ingat. Aku tak bisa berpikir. Pikiranku berlarut-larut. Seperti air mengalir. Hanya mengikuti arus.
Aku membuka mataku. Dimana aku? UKS? Ini UKS.
“Kamu sudah sadar?” ada suara bass melewati telingaku. Aku bangun dari tidurku.
“Iya. Kamu yang bawa aku kesini?” dia mengangguk. “Makasih, ya.”
“Latihan sudah selesai. Mau pulang? Aku antar kamu pulang, ya? Aku bawa sepeda kok.” Aku mengangguk.
“Oh, ya, nama kamuu siapa?”
“Rei. Panggil aku Rei” Dia mengambil tasnya. Gantungan itu! Gantungan itu gantungan glove laki-laki yang menabrakku.
Dia benar-benar mengantarku sampai rumah.
“Makasih, Rei! Aku berhutang ke kamu.”
“Bukan masalah. Aku pulang dulu, ya?”
Dia pergi menjauhi rumahku. Mungkin rumahnya tidak jauh dari rumahku atau searah jalan pulangnya denganku.
Aku senang. Rasanya seperti hati ini terbang ke langit ketujuh.
Acara televisi tidak ada yang menarik. Sambil melahap es krim, aku mencari-cari acara televisi yang menarik.
“Mika, tolong belikan daging di pasar, ya?”
“Oke, ma!”
Sesuai pesanan mama, aku ke pasar membeli daging.
“Mika! Sedang apa?”
“Ah, Rei! Aku beli daging. Mama minta tolong, kamu?”
“Sama. Aku bosan sekali hari ini. Mau latihan ga sore ini?”
“Latihan? Mau mau mau!!”
“Jam 4 sore, aku jemput ya?”
“Jemput?”
“Pokoknya jam 4! Oke? Bye! “
Loh? Padahal aku bisa berangkat sendiri. Yasudahlah.
Jam 4 sore. Aku menunggu Rei di depan rumahku. Aku tak peduli dengan pakaianku. Bercelana pendek dan kaos oblong. Topi dan bersneakers. Glove kesayanganku juga sudah kubawa dan bola softballnya.
Kring kring! Bunyi bel sepeda. “Hei! Ayo naik!” Rei terlihat semangat. “Hati-hati jatuh ya?” Dia membawa bat dan glovenya.
Rei mengayuh sepeda dengan kuat. Bisa terlihat jelas dari mukanya, dia sangat semangat. Mungkin dia sedang senang. Angin terasa melewati telinga dan sela-sela rambutku. Suara gesekan sepeda dengan aspal terdengar jelas.
Jalanan menurun. Rei tidak mengayuh sepeda. Kecepatan sepeda semakin cepat. Membuatku takut. Tanpa sadar, tangan kiriku mencekram baju Rei. Rei tertawa. Tawanya begitu lepas. Rambutnya terbawa angin. Dan dia berteriak “Wohoooo!”. Aku ikut tertawa kecil.
Suara gesekkan roda dan aspal terdengar jelas ketika Rei mengerem sepedanya. Kami berhenti di sebuah lapangan yang cukup luas. Bukan lapangan softball, tapi sepertinya lapangan ini sering digunakan bermain baseball atau softball.
Aku berlari menuju lapangan. Tidak sabar ingin cepat bermain.
“Rei! Ayo, cepat!” Aku memanggilnya dari tengah lapangan.
Rei mengulas senyum dan datang menghampiriku membawa tas, bat, dan glovenya.
“Ayo, kita main! Kamu bisa pitching, kan? Perlihatkan ke aku. Aku yang jadi catcher.
“Sekarang?”
“Ya! Ayo!”
Dia menantangku? Aku baru kenal dia, tapi seperti sudah kenal lama. Ini menantang! Aku suka.
Matahari mulai terbenam. Aku dan Rei menyelesaikan latihan. Kami bersiap-siap pulang.
Rei mulai menggoes sepedanya dengan sekuat tenaga yang tersisa.
“Mika, mau es krim?”
“Mau mau mau!”
Rei menghentikan kayuhan sepedanya di depan warung yang menjual es krim.
“Mau es krim rasa apa?”
“Coklat ada?”
“Nih.” Dia memberiku es krim.
“Makasih. Kamu rasa apa?”
“Sepertinya melon.” Dia melahap es krimnya. Rei menunjukkan mimik anehnya. Dia diam.
“ada apa?”
“Ini rasa kacang hijau.” Mukanya mengatakan bahwa dia tidak suka.
“Mau tukaran denganku?”
“Tidak. Ini juga tidak terlalu buruk.”
Kami melahap es krim itu masing-masing sambil mengobrol dan bercanda.
Langit pun gelap. Bulan pun muncul. Bintang-bintang juga bertaburan. Perjalanan pulang hari ini terlihat indah. Selama perjalanan, kami penuh canda dan tawa. Malam ini indah.
Burung-burung berkicau di depan jendela. Udara segar masuk melewati jendela kamarku. Aku bergegas ke sekolah. Aku berjalan menuju stasiun. Ckiit! Tiba-tiba ada sepeda berhenti di depanku.
“Rei?”
“Ayo naik! Kita bareng ke sekolah!”
Aku bingung. Rei selalu muncul tiba-tiba di hadapanku.
“Ayo!” paksanya. Aku naik sepedanya, dibonceng dibangku belakang. Rei selalu mengayuh sepeda dengan cepat. Angin benar-benar terasa dingin setelah aku ikut dengan Rei.
“Pulang sekolah ikut kegiatan klub, kan?” Tanya Rei.
“Tentu saja! Aku pasti akan mengalahkanmu di pertandingan nanti!” aku memberinya sebuah tonjokan kecil. Tiba-tiba dia mencubit pipiku.
“Oh, iya! Sabtu nanti aku akan bertanding. Kamu mau nonton?”
Aku mengangguk. “Oke kalau begitu! Sampai ketemu nanti di klub!”
“Bye!” Dia pergi. Jantungku benar-benar berdetak cepat. Darahku seperti meluap. Mungkin aku menyukai Rei. Aku memang menyukainya.
Kegiatan klub pun selesai. Lelah. Lelah setelah pertandingan melawan laki-laki. Mereka kuat. Kami kalah. Wajar saja, tubuh mereka kan untuk berolahraga.
Aku bergegas membereskan barang-barangku.
“Mika! Aku mau menyatakan perasaanku ke cowok berkacamata itu. Aku tahu namanya sekarang. Namanya Rei! Doakan aku berhasil, ya, Mika!” Muka Tatat penuh semangat. Dia berani sekali mau menyatakan perasaannya. Percaya diri.
Aku hanya mengangguk dan memberikannya seulas senyum. Tata pergi meninggalkanku. Pergi menyatakan perasaannya ke Rei. Rei pasti menerima Tata. Tata cantik dan menarik, siapa yang tidak tertarik? Rei juga pasti akan meninggalkanku. Tata dan Rei akan bersama. Sedangkan aku? Aku tetap sendiri.
Air mataku mengalir dari mataku? Aku menangis? Aku menangis bahagia karena Tata akhirnya akan bersama Rei. Tidak. Aku bukan menangis untuk itu. Aku cemburu. Aku sungguh menyukai Rei.
Tata kembali datang mendatangiku. Ia menghampiriku. Dia tersenyum. Mereka berpacaran? Tiba-tiba, Tata memelukku dan menangis di pelukanku. “Aku ditolak.”. Kasihan tapi aku lega. Aku berusaha menghibur Tata, tapi sepertinya Tata bisa mengendalikan emosinya.
Aku bergegas pulang setelah mandi. Tata sudah pulang. Aku akan pulang sendiri.
Hujan. Payungku? Aku lupa membawa payung. Aku akan menunggu sampai hujan reda.
“Mana payungmu?”
“Tertinggal.”
“Nih. Pakai payung ini.”
“Kamu bagaimana?”
“Sudah tak usah dipikirkan. Pakailah.” Aku terdiam. “Aku ada jas hujan.”
“Baiklah”
Kami pulang bersama. Rei membawa sepedanya. Kali ini dia tidak mengayuhnya, hanya dibawa berjalan bersamanya. Mengayuhnya hanya akan membuat Rei capek.
Matahari terbit dari timur, mengantarkan sinarnya. Aku ada janji menonton Rei bertanding hari ini. Aku bergegas berangkat ke lapang softball dimana  Rei bertanding. Butuh 30 menit sampai ke tujuan.
Banyak orang yang memperhatikan aku ketika aku masuk ke daerah lapangan. Aku mencari-cari Rei.
“Rei!” panggilku ketika aku menemukan Rei.
“Mika! Kamu datang?” dia datang menghampiriku.
“Pasti dong!”
“Rei, ini Mika, pemain softball nasional itu, kan?” tanya salah seorang teman Rei yang menghampiri kami. Rei mengangguk. Aku memberikannya seulas senyum. “Kenalin, aku Rega.” Dia memberikan sebuah jabat tangan.
“Mika.” Aku membalas jabat tangannya.
“Kalau begitu, aku duluan ya?” Rega pun pergi.
“Ayo, Mika!”
“Aku akan tunggu di bench sebelah kanan. Ok?”
“Ok!”
Dug Out tim Rei berdekatan dengan benchku. Jadi, aku tidak kesulitan mengobrol dengannya.
Pertandingan memasuki inning terakhir. Rei keluar dari dug outnya mendatangiku.
“Rei, kenapa keluar? Kamu harus di dalam bukan? Sebentar lagi kamu harus memukul.”
Rei menggenggam pundakku. “Mika, dengar. Kalau aku berhasil memukul bola dari pitcher, maka timku akan menang. Kalau aku berhasil memukul bola itu, jadilah pacarku.”
Aku tersentak ketika Rei bicara seperti itu. Dadaku terasa panas. Darahku seperti mendidih. Mukaku panas. Jantungku berdetak tidak karuan.
Dia kembali ke dalam dug out dan memasuki lapangan. Dia membawa bat, bat favoritnya. Aku melihatnya. Dia bersiap memukul. Pitcher lawan memutar tangannya dan meluncurkan bolanya.
STRIKE!Umpire berteriak.
Kini, Pitcher lawan memutarkan lagi tangannya dan meluncurkan bolanya yang kedua. Rei memukul. Bolanya? Bolanya terpukul ke belakang.
FOUL BALL! STRIKE!Umpire berteriak memberikan tanda kembali.
Ini last strike. Kalau bolanya terpukul, aku akan menjadi pacar Rei. Tapi kalau tidak, aku bukan pacar Rei.
“REI! LAST STRIKE REI!! LIHAT BOLANYA REI!!” Aku berteriak mendukung Rei dari bench.
Rei menoleh ke arahku. Dia tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Ia terlihat lebih serius dan mengamati bolanya.
Pitcher lawan memutarkan lagi tangannya dan meluncurkan bolanya yang kedua. Rei memukul bola itu. Bola? Bolanya terbang jauh!
“REIIII! LARIIIIII! HOMERUN REI HOMERUN!!!!”
Rei menginjak home plate. Rei berhasil! Rei membawa timnya menang! Keren! Ini keren! Pertandingan pun selesai. Tim Rei berhasil menjadi pemenang.
Aku langsung lari mendatangi Rei. Rei langsung memelukku. Kebahagiaan di mukanya tidak dapat disembunyikan. Begitu pun aku, aku bahagia. Rei menjadi pacarku sekarang.  
Seseorang mendatangi kami. Dia bertubuh kekar dan besar.
“Permainanmu bagus, nak! Siapa namamu?” laki-laki besar itu bertanya. Mukanya familiar untukku. Seperti biasa, aku perlu mengumpulkan memori untuk mengingat satu persatu.
“Saya? Saya Rei.”
“Temannya Mika, ya?” dia tersenyum. “Begini, kamu tertarik tidak bergabung dengan tim nasional?”
“Tim nasional?” Rei ternganga kaget.
“Waaaah? Rei! Kamu hebat Rei!” aku kaget bercampur dengan senang.
“Iya. Kalau kamu berminat, silakan hubungi saya.” Dia memberikan selembar kartu nama.
“Om Felix?”
“Ya. Panggil saja seperti itu. Kalau begitu saya duluan, ya?”
“Oke Om! Saya akan menghubungi Om! Terima kasih!” Om Felix meninggalkan kami.
Akhirnya Rei ditawari menjadi pemain nasional. Aku yakin, itu adalah mimpi terbesarnya. Dan juga dia senang sekali bisa membuat homerun seperti tadi. Karena ekspresinya mengatakan seperti itu.

T A M A T

oleh : Fajarina A.

curhatan hati

udah mau akhir tahun lagi. AKU MASIH GATAU MAU MASUK UNIVERSITAS MANA. banyak hal yang bikin aku sendiri ngedown. sedih :'( udah tes minat dan bakat sih, tapi aku sendiri kurang tertarik. Hasilnya itu jadi Ahli Gizi, Kedokteran, Psikolog. Aku lebih seneng NHI tapi kalau ngga cocok ya mau gimana? Aku tidaktertarik dengan kedokteran. Pilihan aku ya antara ahli gizi dan psikolog. Yaaa~ gatau deh -___-

Sabtu, 25 Februari 2012

edit photo online

aku nyaranin kalau mau edit photo ke http://pixlr.com/ . Hasilnya bagus dan memuaskan. Efisien waktu lagi (Y)

before









after









and the others










Senin, 19 Desember 2011

9C


the one photo of 9C

france


it's my dream for coming and staying there :)

vila fazi (X-3)

my 17th birthday