Sejak kecil, ayah mengajariku cara
bermain softball dan tekniknya sampai akhirnya aku bermain di dunia
internasional. Ayah tidak peduli dengan nilai akademisku di sekolah, sehingga
membuatku keluar dari sekolah pada masa SMP dan melanjutkan dengan home schooling. Bukan karena nilaiku
buruk, tapi ayah menginginkanku fokus pada dunia softball. Hingga satu tahun
lalu, ayah meninggal karena serangan jantung, ibu memintaku kembali melanjutkan
sekolah pertengahan musim panas nanti ke SMA.
Musim panas pun tiba. Suhu udara
tentu saja panas sekali. Angin melewati sela-sela rambutku menimbulkan suara di
telinga. Hari pertama kembali ke sekolah sangat menegangkan. Duniaku yang lalu
hanya duniaku di lapangan. Kenalanku adalah pemain baseball dan softball yang
terkenal.
Upacara hari pertama sekolah sangat
membosankan. Kelas 2-A. Aku mencari kelas 2-A. Lorong kelas 2 ini ramai. Ada
anak-anak gadis yang cantik sedang
bercakap-cakap. Ada juga beberapa anak yang memperhatikan aku. Ada beberapa
anak laki-laki yang berlarian di lorong.
AH, kelas 2-A! Semua memperhatikan
aku ketika aku masuk ke kelas. Aku duduk di bangku dekat jendela agar bisa
melihat keluar. WAH! Ada lapangan baseball! Banyak anak-anak yang bermain
disana.
Aku diberi selembar kertas. Kegiatan
ekstrakurikuler? Pak Guru memintaku mengisinya dirumah. Ada banyak pilihan
kegiatan.
“Hei, kamu Mika, pemain softball itu,
kan? Aku sering liat kamu di tv! Kamu keren banget!” gadis berambut lurus
dibangku sebelahku menyapaku.
“Ohya? Terima kasih.” Aku memberinya
seulas senyum.
“Lalu, kapan kamu bertanding lagi?
Aku ingin lihat kamu bermain langsung”
“Mungkin musim dingin ini?”
“Ohya! Kamu pasti masuk klub softball
kan?”
“Memang ada?”
“Ada! Ini! Di selebaran ini, kamu
tinggal pilih.”
“Benar! Ada klub softball! Aku pilih
klub ini! Ohya, namamu siapa?”
“Aku Tata. Panggil saja seperti itu.
Salam kenal.” Dia meberikanku sebuah jabatan tangan dan seulas senyum yang
menampakkan gigi putihnya.
“Baiklah.”
Aku mendapat teman! Dia bernama Tata.
Dia memintaku memanggilnya seperti itu. Dia ikut klub softball, sama sepertiku.
Kalau begitu, aku tidak akan kesepian di klub softball.
Sepulang sekolah, aku berniat menghampiri
lapangan softball sekolah. Ingin merasakan aura lapangan yang akan aku injak.
Tapi Tata mengajakku ke warung takoyaki baru didekat stasiun. Kapan lagi aku seperti ini? pikirku.
Besok aku masih bisa ke lapangan.
Tidak ada angin yang berhembus. Terik
matahari di pagi hari sangat membuatku repot, membuatku berkeringat. Padahal,
aku hanya jalan dari rumah sampai ke stasiun, tetapi seragamku sudah basah. Ah!
Ada supermarket! Pasti di dalam
sejuk! Beli permen sekalian menyejukkan diri, ah!
Tiba-tiba ada seseorang membuka pintu
dan menabrak pundakku.
“Ah, maaf!” laki-laki berkacamata
yang mukanya tak terlihat meminta maaf. Di tasnya ada gantungan kunci glove!
Akan kuingat.
Sepanjang jalan aku mengingat-ingat
wajah laki-laki yang tadi menabrakku. Tetap tidak ingat! Nanti pasti ketemu.
Siang hari, matahari sungguh-sungguh
memberikan terik dan panasnya yang amat-teramat panas. Membuatku tak bisa
melihat ke atas langit. Tapi niatku tak terkalahkan oleh panasnya matahari ini.
Aku tetap datang ke lapang softball.
Beruntunglah aku bisa datang kesini. Pagarnya tak terkunci! Aku
memasuki lapangan. Ah, auranya berbeda sekali dengan lapangan yang biasanya aku
datangi. Terlihat lebih kecil. Pasir lapangannya berbeda, tapi rumputnya nyaman
sekali, hijau.
Aku menantang diriku berlari diatas
pasir. Menyesuaikan diriku dengan pasir. Mungkin aku menarik perhatian murid
lain, tapi aku tak peduli.
“Jackpot!!”
Tata berteriak, membuatku kaget dan terpeleset saat berlari di pasir.
Tata langsung datang menghampiriku, membantuku
bangun dari jatuhku.
“Maaf, maaf! Aku tidak sengaja.” Tata
membantuku membersihkan seragamku. Ah, lusuh sekali aku.
“Iya, ga apa-apa.”
“Biar aku bantu.” Tata menemaniku
berganti baju. Untunglah ada seragam olahraga di lokerku.
Pagi sabtu ini terasa dingin sekali.
Mungkin sudah musim peralihan. Sepertinya akan datang hujan hari ini. Aku
menghampiri supermarket di stasiun
lagi, membeli segelas susu coklat panas. Barangkali, aku akan bertemu dengan
laki-laki waktu itu.
Tidak. Aku tidak bertemu dengan
laki-laki itu. Aku tak mau berharap.
“Mika! Ke klub?” Tata mengagetkanku
dari belakang.
“Yap!”
“Bareng yuk?” aku mengangguk.
“Waaaaah! Tas pemain professional
memang beda ya?”
“Ah, kamu bisa saja. Ini dijual di
pasaran kok..”
“Ohya? Lain waktu temani aku beli
ya?”
“Oke!”
Lapangan softball penuh dengan
anak-anak yang berlatih. Pelatih itu laki-laki bertopi dan berkacamata hitam.
Badannya kekar. Sepertinya aku mengenalinya.
Aku berjalan memasuki lapangan. Pasir
lapang masih seperti terakhir aku kesini. Auranya tidak berubah. Rumputnya juga
tak berubah, segar dan hijau. Beberapa anak memperhatikanku. Apa ada yang
salah?
Ah! Anak itu! Laki-laki itu mirip
seperti anak yang aku temui di supermarket
lalu. Dari belakang sih mirip, tapi
belum tentu dia.
Aku menyimpan barang-barangku di
loker dan segera bersiap-siap. Aku berlari dengan penuh semangat menuju lapang
karena sudah tak sabar. Aku bergabung dengan gadis-gadis lain walau aku tak
kenal.
Pelatih bertubuh kekar itu mendekati
aku. Dia membuka kacamatanya. Mukanya yang terlihat tua tampak familiar.
“Mika! Kamu ingat dengan saya?”
Mimiknya menampakkan dia senang bisa bertemu denganku lagi, tapi aku tak ingat.
Memoriku belum terkumpul tentangnya.
“Lupa, ya? Ini Ferry. Uncle Ferry.
Teman satu tim dengan ayahmu.”
“Oh iya! Aku ingat! Apa kabar,
uncle?”
“Baik. Saya turut berduka cita atas
meninggalnya ayah kamu.” Kali ini dia menampakkan mimik sedihnya.
“Iya, ga apa-apa. Ayo, uncle, kita
latihan!” dia membuat senyuman hingga gigi putihnya terlihat.
Tata tidak terlalu buruk, dia pasti
bisa masuk ke tim sekolah. Sekali, dua kali, aku bisa menangkapnya. Kali ini
dia melempar terlalu tinggi. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Brug! Aku
menabrak seseorang. SIapa? Glovenya
ada di atas kepalaku. Glovenya menangkap
bolaku. Dia menurunkan glovenya. Wangi.
Wangi maskulin. Tampak kacamata dikenakan oleh laki-laki itu. Aku membalikkan
badanku.
“Ini bola kamu, kan?”
“Iya. Makasih.”
“Yo! Sama-sama Mika!” dia kembali dan
melambaikan tangannya. Tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Tanpa sadar, detakan
ini menarik bibirku membentuk seulas senyum.
Tak terasa sudah 2 jam berlalu.
Latihan selesai. Latihan di sekolah tidak terlalu berat seperti latihan
nasional.
“Pertemuan berikutnya, yang laki-laki
bertanding dengan yang perempuan. Saya ingin lihat kemampuan kalian
masing-masing.”
WOW! Ini nih yang aku tunggu-tunggu.
“Pasti bakalan seru, nih! Iya,
kan, Mika?” aku mengangguk. Aku tak sabar buat minggu depan.
“Mika, aku suka cowok itu. Cowok yang
berkacamata itu.” Tata menunjuk salah satu dari laki-laki yang sedang
berkumpul.
“Yang mana?” aku berusaha mencari
“Awaaaaaaasss!” seseorang bereteriak.
Brag! Suara
apa itu? Sakit. Punggungku sakit. Gelap. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Badanku
lemas.
“Mika! Mikaa!” Aku mendengar suara
Tata memanggilku, tapi semuanya gelap. Seseorang membopongku. Siapa? Wangi. Wangi ini, aku hapal! Aku tak ingat.
Aku tak bisa berpikir. Pikiranku berlarut-larut. Seperti air mengalir. Hanya
mengikuti arus.
Aku membuka mataku. Dimana aku? UKS?
Ini UKS.
“Kamu sudah sadar?” ada suara bass
melewati telingaku. Aku bangun dari tidurku.
“Iya. Kamu yang bawa aku kesini?” dia
mengangguk. “Makasih, ya.”
“Latihan sudah selesai. Mau pulang?
Aku antar kamu pulang, ya? Aku bawa sepeda kok.” Aku mengangguk.
“Oh, ya, nama kamuu siapa?”
“Rei. Panggil aku Rei” Dia mengambil
tasnya. Gantungan itu! Gantungan itu gantungan glove laki-laki yang menabrakku.
Dia benar-benar mengantarku sampai
rumah.
“Makasih, Rei! Aku berhutang ke
kamu.”
“Bukan masalah. Aku pulang dulu, ya?”
Dia pergi menjauhi rumahku. Mungkin
rumahnya tidak jauh dari rumahku atau searah jalan pulangnya denganku.
Aku senang. Rasanya seperti hati ini
terbang ke langit ketujuh.
Acara televisi tidak ada yang
menarik. Sambil melahap es krim, aku mencari-cari acara televisi yang menarik.
“Mika, tolong belikan daging di
pasar, ya?”
“Oke, ma!”
Sesuai pesanan mama, aku ke pasar
membeli daging.
“Mika! Sedang apa?”
“Ah, Rei! Aku beli daging. Mama minta
tolong, kamu?”
“Sama. Aku bosan sekali hari ini. Mau
latihan ga sore ini?”
“Latihan? Mau mau mau!!”
“Jam 4 sore, aku jemput ya?”
“Jemput?”
“Pokoknya jam 4! Oke? Bye! “
Loh? Padahal aku bisa berangkat
sendiri. Yasudahlah.
Jam 4 sore. Aku menunggu Rei di depan
rumahku. Aku tak peduli dengan pakaianku. Bercelana pendek dan kaos oblong.
Topi dan bersneakers. Glove kesayanganku juga sudah kubawa dan
bola softballnya.
Kring kring!
Bunyi bel sepeda. “Hei! Ayo naik!” Rei terlihat semangat. “Hati-hati jatuh ya?”
Dia membawa bat dan glovenya.
Rei mengayuh sepeda dengan kuat. Bisa
terlihat jelas dari mukanya, dia sangat semangat. Mungkin dia sedang senang.
Angin terasa melewati telinga dan sela-sela rambutku. Suara gesekan sepeda
dengan aspal terdengar jelas.
Jalanan menurun. Rei tidak mengayuh
sepeda. Kecepatan sepeda semakin cepat. Membuatku takut. Tanpa sadar, tangan
kiriku mencekram baju Rei. Rei tertawa. Tawanya begitu lepas. Rambutnya terbawa
angin. Dan dia berteriak “Wohoooo!”. Aku ikut tertawa kecil.
Suara gesekkan roda dan aspal
terdengar jelas ketika Rei mengerem sepedanya. Kami berhenti di sebuah lapangan
yang cukup luas. Bukan lapangan softball, tapi sepertinya lapangan ini sering
digunakan bermain baseball atau softball.
Aku berlari menuju lapangan. Tidak
sabar ingin cepat bermain.
“Rei! Ayo, cepat!” Aku memanggilnya
dari tengah lapangan.
Rei mengulas senyum dan datang
menghampiriku membawa tas, bat, dan glovenya.
“Ayo, kita main! Kamu bisa pitching, kan? Perlihatkan ke aku. Aku
yang jadi catcher.”
“Sekarang?”
“Ya! Ayo!”
Dia menantangku? Aku baru kenal dia,
tapi seperti sudah kenal lama. Ini menantang! Aku suka.
Matahari mulai terbenam. Aku dan Rei
menyelesaikan latihan. Kami bersiap-siap pulang.
Rei mulai menggoes sepedanya dengan
sekuat tenaga yang tersisa.
“Mika, mau es krim?”
“Mau mau mau!”
Rei menghentikan kayuhan sepedanya di
depan warung yang menjual es krim.
“Mau es krim rasa apa?”
“Coklat ada?”
“Nih.” Dia memberiku es krim.
“Makasih. Kamu rasa apa?”
“Sepertinya melon.” Dia melahap es
krimnya. Rei menunjukkan mimik anehnya. Dia diam.
“ada apa?”
“Ini rasa kacang hijau.” Mukanya
mengatakan bahwa dia tidak suka.
“Mau tukaran denganku?”
“Tidak. Ini juga tidak terlalu
buruk.”
Kami melahap es krim itu
masing-masing sambil mengobrol dan bercanda.
Langit pun gelap. Bulan pun muncul.
Bintang-bintang juga bertaburan. Perjalanan pulang hari ini terlihat indah.
Selama perjalanan, kami penuh canda dan tawa. Malam ini indah.
Burung-burung berkicau di depan
jendela. Udara segar masuk melewati jendela kamarku. Aku bergegas ke sekolah.
Aku berjalan menuju stasiun. Ckiit!
Tiba-tiba ada sepeda berhenti di depanku.
“Rei?”
“Ayo naik! Kita bareng ke sekolah!”
Aku bingung. Rei selalu muncul
tiba-tiba di hadapanku.
“Ayo!” paksanya. Aku naik sepedanya,
dibonceng dibangku belakang. Rei selalu mengayuh sepeda dengan cepat. Angin
benar-benar terasa dingin setelah aku ikut dengan Rei.
“Pulang sekolah ikut kegiatan klub,
kan?” Tanya Rei.
“Tentu saja! Aku pasti akan
mengalahkanmu di pertandingan nanti!” aku memberinya sebuah tonjokan kecil.
Tiba-tiba dia mencubit pipiku.
“Oh, iya! Sabtu nanti aku akan
bertanding. Kamu mau nonton?”
Aku mengangguk. “Oke kalau begitu!
Sampai ketemu nanti di klub!”
“Bye!” Dia pergi. Jantungku
benar-benar berdetak cepat. Darahku seperti meluap. Mungkin aku menyukai Rei. Aku
memang menyukainya.
Kegiatan klub pun selesai. Lelah.
Lelah setelah pertandingan melawan laki-laki. Mereka kuat. Kami kalah. Wajar
saja, tubuh mereka kan untuk berolahraga.
Aku bergegas membereskan
barang-barangku.
“Mika! Aku mau menyatakan perasaanku
ke cowok berkacamata itu. Aku tahu namanya sekarang. Namanya Rei! Doakan aku
berhasil, ya, Mika!” Muka Tatat penuh semangat. Dia berani sekali mau
menyatakan perasaannya. Percaya diri.
Aku hanya mengangguk dan
memberikannya seulas senyum. Tata pergi meninggalkanku. Pergi menyatakan
perasaannya ke Rei. Rei pasti menerima Tata. Tata cantik dan menarik, siapa
yang tidak tertarik? Rei juga pasti akan meninggalkanku. Tata dan Rei akan
bersama. Sedangkan aku? Aku tetap sendiri.
Air mataku mengalir dari mataku? Aku
menangis? Aku menangis bahagia karena Tata akhirnya akan bersama Rei. Tidak.
Aku bukan menangis untuk itu. Aku cemburu. Aku sungguh menyukai Rei.
Tata kembali datang mendatangiku. Ia
menghampiriku. Dia tersenyum. Mereka berpacaran? Tiba-tiba, Tata memelukku dan
menangis di pelukanku. “Aku ditolak.”. Kasihan tapi aku lega. Aku berusaha
menghibur Tata, tapi sepertinya Tata bisa mengendalikan emosinya.
Aku bergegas pulang setelah mandi.
Tata sudah pulang. Aku akan pulang sendiri.
Hujan. Payungku? Aku lupa membawa
payung. Aku akan menunggu sampai hujan reda.
“Mana payungmu?”
“Tertinggal.”
“Nih. Pakai payung ini.”
“Kamu bagaimana?”
“Sudah tak usah dipikirkan.
Pakailah.” Aku terdiam. “Aku ada jas hujan.”
“Baiklah”
Kami pulang bersama. Rei membawa
sepedanya. Kali ini dia tidak mengayuhnya, hanya dibawa berjalan bersamanya. Mengayuhnya
hanya akan membuat Rei capek.
Matahari terbit dari timur,
mengantarkan sinarnya. Aku ada janji menonton Rei bertanding hari ini. Aku
bergegas berangkat ke lapang softball dimana
Rei bertanding. Butuh 30 menit sampai ke tujuan.
Banyak orang yang memperhatikan aku
ketika aku masuk ke daerah lapangan. Aku mencari-cari Rei.
“Rei!” panggilku ketika aku menemukan
Rei.
“Mika! Kamu datang?” dia datang
menghampiriku.
“Pasti dong!”
“Rei, ini Mika, pemain softball
nasional itu, kan?” tanya salah seorang teman Rei yang menghampiri kami. Rei
mengangguk. Aku memberikannya seulas senyum. “Kenalin, aku Rega.” Dia
memberikan sebuah jabat tangan.
“Mika.” Aku membalas jabat tangannya.
“Kalau begitu, aku duluan ya?” Rega
pun pergi.
“Ayo, Mika!”
“Aku akan tunggu di bench sebelah kanan. Ok?”
“Ok!”
Dug Out tim
Rei berdekatan dengan benchku. Jadi,
aku tidak kesulitan mengobrol dengannya.
Pertandingan memasuki inning terakhir. Rei keluar dari dug outnya mendatangiku.
“Rei, kenapa keluar? Kamu harus di
dalam bukan? Sebentar lagi kamu harus memukul.”
Rei menggenggam pundakku. “Mika,
dengar. Kalau aku berhasil memukul bola dari pitcher, maka timku akan menang.
Kalau aku berhasil memukul bola itu, jadilah pacarku.”
Aku tersentak ketika Rei bicara
seperti itu. Dadaku terasa panas. Darahku seperti mendidih. Mukaku panas.
Jantungku berdetak tidak karuan.
Dia kembali ke dalam dug out dan memasuki lapangan. Dia
membawa bat, bat favoritnya. Aku melihatnya. Dia bersiap memukul. Pitcher lawan memutar tangannya dan
meluncurkan bolanya.
“STRIKE!” Umpire berteriak.
Kini, Pitcher lawan memutarkan lagi tangannya dan meluncurkan bolanya
yang kedua. Rei memukul. Bolanya? Bolanya terpukul ke belakang.
“FOUL BALL! STRIKE!” Umpire berteriak memberikan tanda
kembali.
Ini last strike. Kalau bolanya terpukul, aku akan menjadi pacar Rei.
Tapi kalau tidak, aku bukan pacar Rei.
“REI! LAST STRIKE REI!! LIHAT BOLANYA REI!!” Aku berteriak mendukung Rei
dari bench.
Rei menoleh ke arahku. Dia tersenyum
dan mengacungkan jempolnya. Ia terlihat lebih serius dan mengamati bolanya.
Pitcher lawan
memutarkan lagi tangannya dan meluncurkan bolanya yang kedua. Rei memukul bola
itu. Bola? Bolanya terbang jauh!
“REIIII! LARIIIIII! HOMERUN REI HOMERUN!!!!”
Rei menginjak home plate. Rei berhasil! Rei membawa timnya menang! Keren! Ini
keren! Pertandingan pun selesai. Tim Rei berhasil menjadi pemenang.
Aku langsung lari mendatangi Rei. Rei
langsung memelukku. Kebahagiaan di mukanya tidak dapat disembunyikan. Begitu
pun aku, aku bahagia. Rei menjadi pacarku sekarang.
Seseorang mendatangi kami. Dia
bertubuh kekar dan besar.
“Permainanmu bagus, nak! Siapa
namamu?” laki-laki besar itu bertanya. Mukanya familiar untukku. Seperti biasa,
aku perlu mengumpulkan memori untuk mengingat satu persatu.
“Saya? Saya Rei.”
“Temannya Mika, ya?” dia tersenyum.
“Begini, kamu tertarik tidak bergabung dengan tim nasional?”
“Tim nasional?” Rei ternganga kaget.
“Waaaah? Rei! Kamu hebat Rei!” aku
kaget bercampur dengan senang.
“Iya. Kalau kamu berminat, silakan
hubungi saya.” Dia memberikan selembar kartu nama.
“Om Felix?”
“Ya. Panggil saja seperti itu. Kalau
begitu saya duluan, ya?”
“Oke Om! Saya akan menghubungi Om!
Terima kasih!” Om Felix meninggalkan kami.
Akhirnya Rei ditawari menjadi pemain
nasional. Aku yakin, itu adalah mimpi terbesarnya. Dan juga dia senang sekali
bisa membuat homerun seperti tadi.
Karena ekspresinya mengatakan seperti itu.
T A M A T
oleh : Fajarina A.